0
Pengadilan Den Haag, Rabu (14/9/2011), menyatakan Belanda bertanggung jawab atas pembantaian di desa Rawagede, sekarang bernama Balongsari, Jawa Barat.
Hakim ketua D.A. Schreuder secara tegas menyebut tindakan Belanda sebagai ilegal (onrechtmatig). Keputusan ini memandang Belanda bersalah karena dianggap membunuhi warga sendiri. Pengadilan mendasari putusannya atas pertimbangan bahwa hukum Belanda dianggap berlaku di Hindia Belanda sampai tahun 1949.
Radio Nederland melaporkan, hakim menolak pleidoi advokat negara Belanda, G.J.H. Houtzagers, yang menyebut kejahatan tersebut sudah kadaluarsa. Hakim memakai asas lex spesialis. Artinya pengadilan Den Haag melihat kasus pembantaian Rawagede sebagai kasus khusus, sehingga preseden kadaluarsa tidak berlaku.
Anggota parlemen Belanda dari partai sosialis, SP, terkejut. “Biasanya argumen kadaluarsa selalu sukses, tapi tidak dalam pengadilan ini. Yang penting ternyata kejahatan perang tidak bisa kadaluarsa. Saya pikir ini berita besar. Pertama-tama buat mereka yang terkait, terlebih ini pengakuan bagi mereka yang sudah tidak ada lagi, karena sudah meninggal atau belum bergabung dengan komite. Ini keputusan bersejarah.”
Walau demikian, hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan ganti rugi. Pengadilan Den Haag membatasi pemberian kompensasi pada janda, korban langsung atau anaknya. Berarti tidak termasuk cucu korban.
Pengacara Liesbeth Zegveld tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Setelah 64 tahun akhirnya Belanda secara hukum dinyatakan bersalah atas aksinya di Indonesia. Putusan ini menjadi preseden baru dan bisa saja diterapkan dalam kasus Westerling di Sulawesi. “Selama mereka masih hidup, dan kasusnya jelas seperti kasus ini…setiap pihak mengakui terjadi kesalahan besar, terjadi kejahatan perang…maka akan dilihat apakah ini sama dengan kasus Rawagede,” kata Liesbeth Zegveld sepertiRadio Nederland.
Eksekusi
Kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan massal di desa Rawagede. Tragedi berdarah ini terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario.
Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejerkan dan ditembak mati. Pihak Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, Sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150. Pada 1947 Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan.
Pada 2009 keluarga korban menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini. Sayangnya ia wafat 8 Mei 2011 dalam usia 88 tahun. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Penjahat
Selama ini Belanda menganggap dirinya korban kejahatan Nazi Jerman di masa Perang Kedua. Keputusan pengadilan Den Haag ternyata membuat Belanda sekarang menjadi pelaku kejahatan perang.
“Sekarang ternyata bukan Jerman saja si penjahat perang. Belanda pun kini dinyatakan sebagai penjahat,” tukas seorang wartawan luar negeri yang asyik membuat cerita kasus Rawagede di pengadilan Den Haag.
Hakim ketua D.A. Schreuder secara tegas menyebut tindakan Belanda sebagai ilegal (onrechtmatig). Keputusan ini memandang Belanda bersalah karena dianggap membunuhi warga sendiri. Pengadilan mendasari putusannya atas pertimbangan bahwa hukum Belanda dianggap berlaku di Hindia Belanda sampai tahun 1949.
Radio Nederland melaporkan, hakim menolak pleidoi advokat negara Belanda, G.J.H. Houtzagers, yang menyebut kejahatan tersebut sudah kadaluarsa. Hakim memakai asas lex spesialis. Artinya pengadilan Den Haag melihat kasus pembantaian Rawagede sebagai kasus khusus, sehingga preseden kadaluarsa tidak berlaku.
Anggota parlemen Belanda dari partai sosialis, SP, terkejut. “Biasanya argumen kadaluarsa selalu sukses, tapi tidak dalam pengadilan ini. Yang penting ternyata kejahatan perang tidak bisa kadaluarsa. Saya pikir ini berita besar. Pertama-tama buat mereka yang terkait, terlebih ini pengakuan bagi mereka yang sudah tidak ada lagi, karena sudah meninggal atau belum bergabung dengan komite. Ini keputusan bersejarah.”
Walau demikian, hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan ganti rugi. Pengadilan Den Haag membatasi pemberian kompensasi pada janda, korban langsung atau anaknya. Berarti tidak termasuk cucu korban.
Pengacara Liesbeth Zegveld tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Setelah 64 tahun akhirnya Belanda secara hukum dinyatakan bersalah atas aksinya di Indonesia. Putusan ini menjadi preseden baru dan bisa saja diterapkan dalam kasus Westerling di Sulawesi. “Selama mereka masih hidup, dan kasusnya jelas seperti kasus ini…setiap pihak mengakui terjadi kesalahan besar, terjadi kejahatan perang…maka akan dilihat apakah ini sama dengan kasus Rawagede,” kata Liesbeth Zegveld sepertiRadio Nederland.
Eksekusi
Kasus ini diajukan oleh keturunan korban pembunuhan massal di desa Rawagede. Tragedi berdarah ini terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai kapten Kustario.
Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejerkan dan ditembak mati. Pihak Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, Sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya “hanya” 150. Pada 1947 Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan.
Pada 2009 keluarga korban menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini. Sayangnya ia wafat 8 Mei 2011 dalam usia 88 tahun. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.
Penjahat
Selama ini Belanda menganggap dirinya korban kejahatan Nazi Jerman di masa Perang Kedua. Keputusan pengadilan Den Haag ternyata membuat Belanda sekarang menjadi pelaku kejahatan perang.
“Sekarang ternyata bukan Jerman saja si penjahat perang. Belanda pun kini dinyatakan sebagai penjahat,” tukas seorang wartawan luar negeri yang asyik membuat cerita kasus Rawagede di pengadilan Den Haag.